BAB I
PENDAHULUAN
A. HUKUM ADAT ISTIADAT SULAWESI TENGGARA
Penduduk
Sulawesi Tenggara umumnya beragama Islam. Namun demikian dalam kehidupan
sehari-hari masih terlihat sisa-sisa dari kepercayaan mereka yang terdahulu
yang taat hubungannya dengan animisme dan dinamisme. Karena itu di kalangan
masyarakat terdapat berbagai upacara keagamaan yang dilaksanakan. Misalnya
upacara Monahu khau yakni upacara setelah potong padi. Di kalangan suku Tolaki
yang beragama Kristen upacara ini mewujudkan dalam bentuk kebaktian pengucapan
Syukur tahunan yang dilaksanakan di gereja. Sedangkan di daerah-daerah tertentu
upacara manahu udhan, dilakukan sangat meriah terutama di desa Benua kecamatan
Lambuya. Upacara ini dilaksanakan di lapangan terbuka, selama tiga malam berturut
dan dipimpin seorang dukun yang disebut mbusehe. Saat dilaksanakan biasanya
pada bulan September, semalam sebelum sampai dengan sesudah bulan purnama. Sebagai
alat penerangannya adalah sinar bulan tersebut dan tidak boleh menggunakan
lampu.
Kemudian para peserta yang biasanya terdiri
dari rakyat petani pada umumnya, menari bergandengan tangan mengelilingi
nilavaka yakni bangunan darurat tempat menaruh gendang dan alat musik lainnya.
Malam ketiga atau penutupan, pagi-pagi hari diadakan upacara korban atau musehe
yang dilakukan oleh dukun.
Selain
upacara yang berhubungan dengan pertanian, maka dalam kehidupan individu atau
siklus kehidupan juga dilakukan berbagai upacara mulai dari saat seorang wanita
hamil, melahirkan, kemudian dewasa, melaksanakan perkawinan kemudian kematian.
Upacara yang berhubungan dengan lingkaran kehidupan ini antara lain Meosambaki
yaitu selamatan bagi anak pertama yang berusia 7 hari, Mekui atau Mosere Curu
yakni pemotongan rambut pada waktu bayi berumur 7 tahun, biasanya satu sampai
empat malam anak ini dikurung, dan pada upacara ini anak tersebut disunat atau
Manggilo. Kemudian upacara Mee Eni bila anak berusia 15 tahun hingga masa
peralihan dari kanak-kanak hingga dewasa.Dalam upacara ini diadakan perataan
gigi dengan benda keras, biasanya batu atau kikir.
Dalam
upacara perkawinan yang lazim, selalu didahului dengan peminangan. Namun ada
juga yang melakukan kawin lari, tanpa peminangan kepada pihak sang gadis.
Karenanya cara perkawinan di daerah Sulawesi Tenggara dibedakan kedalam 4
macam, yaitu Mesasapu, bentuk perkawinan dengan peminangan, perkawinan lari
bersama disebut Ropolasu atau humbuni, bila kawin lari dengan paksa oleh pihak
laki-laki disebut pinola suako atau popalaisaka. Dalam perkawinan bawa lari
atau lari bersama ini pihak laki-laki dikenakan sangsi berupa pembayaran yang
tinggi kepada orang tua si gadis. Bentuk perkawinan keempat adalah moruntandole
atau uncura yakni bila lamaran ditolak atau si gadis sudah dipertunangkan
dengan pamuda lain, maka pihak orang tua laki-laki mendesak untuk melaksanakan
perkawinan antara anaknya dengan sigadis saat itu juga.Dalam mengurus mayat
suku-suku bangsa di Sulawesi Tenggara bila seorang raja cara-cara bangsawan
meninggal, sebagai pertanda dipukul gong secara berkepanjangan disebut
batubangewea. Di saat nafas terakhir disembelihkan seekor kerbau yang disebut
katu mbenao.
Kemudian kepada semua kerabat diberi tahu
dengan mendatanginya, oleh orang yang diberi tugas dengan membawa perangkat
adat berupa lingkaran rotan dililit tiga dan diikat secarik kain putih. Dengan
cara ini, yang didatangi sudah mengerti bahwa itu merupakan berita kematian.
Setelah
mayat disimpan semalam lalu dimasukkan ke dalam tempat semacam peti mati yang
disebut soronga, dibuat dari sebatang pohon. Setelah itu mayat dalam soronga di
bawa ke gua batu atau disimpan dalam rumah-rumah yang khusus dibuatkan untuk
itu, biasanya di tengah hutan.
B.Pengertian kebudayaan Secara Umum
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yangberkaitan
dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture.
Kata
tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan,
pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Selanjutnya kata itu diberi arti
“pembentukan dan pemurnian jiwa”.
Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya
yaitu pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya
itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta,
rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan cipta manusia mengembangkan kemampuan
alam pikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan
panca inderanya yang menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa
manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga
berkembanglah kehidupan beragama dan kesusilaan.
Budaya
adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh
secara bersama oleh semua anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan yang
ada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, budaya dalam suatu organisasi
adalah menjadi pengikat semua karyawan secara bersama dalam organisasi tersebut
dan sekaligus sebagai pemberi arti dan maksud dalam keterlibatan karyawan
tersebut dalam pekerjaan sehari-hari dari organisasi.Budaya adalah suatu pola
dari asumsi-asumsi dasar (keyakinan dan harapan) yang ditemukan ataupun
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dari organisasi, dan kemudian menjadi
acuan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan adaptasi keluar
dan integrasi internal, dan karena dalam kurun waktu tertentu telah
berjalan/berfungsi dengan baik, maka dipandang sah, karenanya dibakukan bahwa
setiap anggota organisasi harus menerimanya sebagai cara yang tepat dalam
pendekatan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi oleh Shein
(1985-1990).
Budaya
dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan
atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang dapat mempengaruhi kehidupan
yang damai dan tenteram, sejahtera dalam arti bahwa semua dapat hidup sehat
diatas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik, ras dan jenis kelamin,
tidak mencemari dan merusak lingkungan, tidak meracuni sumberdaya alam
terbaharukan dan tidak terbaharukan, yang secara demokratis menjunjung tinggi
hak dan kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan
keinginannya oleh Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pengertian kebudayaan
yang dikemukakan oleh E.B. Taylor maupun dalil-dalil yang di kemukakan oleh
Herkovits masih bersifat luas sehingga pengkajian kebudayaan sangat bervariasi.
Menurut Krober dan Klukhon (1950) kebudayaan, definisinya adalah kebudayaan
terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan
reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun
pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di
dalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas
tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah hukum Suku Tolaki
(To’olaki, Lolaki,
Lalaki, Laki, Kolaka, “Noie”, “Noihe”, “Nehina”, “Nohina”, “Nahina”, “Akido”)
281,000, termasuk 230,000 Konawe, 50,000 Mekongga, 650 Asera, lebih sedikit
dari 100 Wiwirano, 200 Laiwui (1991 D. Mead SIL). Asal kata TOLAKI, TO=orang
atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki,..manusia yang memiliki kejantanan
yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri. Suku
Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping
Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada
di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang
berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan
Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari
langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah
“kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan
1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu”
yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti
“ikut pergi ke langit”.
Sulawesi
Tenggara, Kendari dan Kolaka. Mekongga di Pegunungan Mekongga di pinggiran
barat dekat Soroako. Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia Barat,
Sulawesi, Sulawesi Tengah, tengah Barat, Bungku-Mori-Tolaki, Tolaki. Dialek:
Wiwirano, Asera, Konawe (Kendari), Mekongga (Bingkokak), Norio, Konio, Tamboki
(Tambbuoki), Laiwui (Kioki). Wiwirano memiliki 88% kemiripan bahasa dengan
Asera, 84% dengan Konawe, 85% dengan Mekongga, 81% dengan Laiwui, 78% dengan
Waru, 70% dengan Rahambuu dan Kodeoha, 54% dengan Mori dan Bungku. Mekongga
memiliki 86% kemiripan dengan Konawe, 80% dengan Laiwui. Tes kejelasan
dibutuhkan dengan dialek yang tersusun diatas, Mekongga, dan Waru.Nama-nama
negatif tidak lagi dipergunakan. Wiwirano hanya dituturkan oleh para tetua.
Kamus. Tatabahasa. Tolaki merupakan salah satu kelompok etnis mayoritas di
Sulawesi bagian selatan. Bahasa mereka disebut Bahasa Tolaki, dan masyarakatnya
juga dikenal dengan nama itu. Mereka tidak menjadi bingung dengan Lolak di
Sulawesi bagian utara.
Tolaki
terdiri atas beberapa sub-kelompok, termasuk Bingkokak. Sedikit saja yang
diketahui tentang gaya hidup dan budaya mereka, tetapi diduga bahwa cara hidup
mereka sangat mirip dengan etnis tetangga mereka, Pancana dan Maronene.
Sulawesi
merupakan sebuah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 3.500 mil, terdiri
atas empat semenanjung utama yang terpisahkan oleh teluk dalam, dengan dua
semenanjung mengarah ke selatan dan dua lainnya ke utara. Di bagian selatan
pulau ini terdapat salah satu gunung tertinggi, yaitu Gunung Lompobatang,
sebuah gunung api pasif yang mencapai ketinggian 9.419 kaki. Meskipun beriklim
tropis, daerah ini dipengaruhi oleh ketinggian dan kedekatan dengan laut.
Tolaki
adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara.mendiami daerah yang
berada di sekitar kota kendari, Kabupaten konawe, Konawe Selaten, Konawe Utara,
Kolaka dan Kolaka Utara. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. masyarakat
Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal, hidup dari hasil
ladang dan persawahan yang di buat secara gotong-royong keluarga.
Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo
(delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal
dari daerah Yunani Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat,
walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang
hal tersebut.
Karena
masyarakat tolaki hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap
air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka
memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai
sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat
Kendari.Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan
pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran,
tembakau, dan kopi. Selain itu ada pula makanan pokok yang berasal dari pohon
sagu (tawaro) dan dikelola dengan cara memotong batang pohon sagu yang kemudian
diiris isi dari batangnya setelah itu dilakukan Lumanda atau meratakan hasil
irisan tersebut didalam tempat penampungan sehingga hasil dari proses semua itu
akan menjadi sagu (tawaro)/Sinonggi (siap saji). Rumah mereka yang umumnya
berbentuk rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka.
Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki
atap yang tinggi.
Perbedaan
kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta masayarakat biasa,
masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi. Tiap kelas sosial
biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara berbagai macam budaya
dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh
lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada akhirnya memegang kepemilikan
atas lahan.
Tradisi
perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga Si gadis pada
saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial
dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan
menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini memperkuat
tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan turunan mereka
tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama.
Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang jelata. Poligami
(memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak
lagi dilakukan.
Islam
merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan
penduduknya. Hindu, tersebar luas di nusantara sebelum abat keempat, dan
sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau
Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya
Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme
(kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku
yang tinggal di daerah terpencil. Islam telah dominan sejak tahun 1600-an, dan
etnis Tolaki pada prakteknya merupakan Muslim Sunni . Akan tetapi, kepercayan
tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat. Hanya
sekitar 1% masyarakat Tolaki beragama Kristen
B.Kebudayaan
Masyarakat Tolaki
Kota Kendari terdiri dari beberapa suku
bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli
di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton
yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara
memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe)
dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini
serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam tulisan ini saya akan membahas
secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.Dalam perjalanan sejarah
Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat
pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´ Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah
kehidupan sosial kemasyarakatan Tolaki terdapat satu simbol peradaban yang
mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat
martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini
yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi
ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam
bermasyarakat.
Didalam
berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya
yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi
kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan,
antara lain sebagai berikut :
1.
Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan
terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih
memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah
dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat
tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan
mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan
masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi.
2.
.Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak
dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki
yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan
dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan
tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan
miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai
motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih
kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya
masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
3.Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan
budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling
hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan
masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan
banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela
oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan
dikenakan sanksi/hukuman.
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
4. Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong
menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap
permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta
pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai
warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan
bantu-membantu .
5. Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri
sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu”
(budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat
sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan
dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa Yang kami
berikan pada tulisan ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran
tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki. Khasanah kehidupan masyarakat di Kota
Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh
nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya
yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan
bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna
tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada
Tuhannya masing-masing.
Rumah
Komali dengan titik pusat tiang Petumbu; Perwujudan “KALO”, Simbol kesatuan
Persatuan manusia & alam suku TOLAKI (Kalo: lingkaran konsep dasar)
Secara
harfiah “Kalo” adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat
yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para
pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak,
benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan
kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua
ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat
istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan
kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian
dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari
berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain
putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah
simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah.
Kadang-kadang
juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari,
bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah
simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah
simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan
Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman
adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi).
Kalo
juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain
putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki
(angota).
Demikianlah kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek
kehidupan mereka. Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai
unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antara manusia dan
antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola
permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan
mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam
kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan
dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki. Melihat apa yang dapat disumbangkan
konsep kalo tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat,
sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul kalo.Kalo
sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki adalah lambang kebersamaan
diiringi oleh ketulusan tanpa egoisme, untuk hidup dalam suatu situasi yang
dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama
hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan
tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk kebersamaan yang tidak mudah lepas
hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang mengakibakan timbulnya
kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya
pertikaian. Kesimpulan: konsep kesatuan-persatuan yang dikandung kalo wajib
direkontekstualisasikan secara nyata tak hanya dalam masyarakat Tolaki, tetapi
juga menjadi pelajaran bagi masyarakat bangsa ini setelah rangkaian perhelatan
seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.
C.Asal-usul orang
Tolaki dan kalo (dari Negeri Cina)
Gambaran umum
masyarakat Tolaki atau Suku Tolaki, merupakan salah satu suku terbesar yang ada
di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di
Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah
Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami
daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya
menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993),
mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal
dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam
dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti
“langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sedikit
fenomena linguistik itu memang sangat mudah memancing komparasi karakter
tektonik arsitektur Tolaki ke Cina, sehingga ada beberapa pihak yang
memperban-dingkan bubungan atap lengkung gaya komali dengan kurva atap
kelenteng Cina. Namun atap lengkung bukan monopoli Cina. Dari rumah adat Yulong
di Vietnam, Minangkabau sampai yang terdekat dengan tempat kediaman orang
Tolaki yaitu tongkonan Toraja, kesemuanya memakai atap berbubungan lengkung.
Jadi
sebetulnya tak terlalu mudah untuk menghubungkan peradaban Tolaki dengan Cina.
Hipotesis tentang hubungan kesejarahan Tolaki-Cina tampaknya masih sangat perlu
didukung oleh kajian antropologi linguistik dan sejarah etnografi arsitektural
yang lebih memadai. Apalagi jika yang hendak dikaji bukan hanya bentuk
tektoniknya saja tetapi pandangan hidup dan kehidupan masyarakat Tolaki.
Pertanyaan penting antara lain: dapatkah melacak sejarah mentalitas yang
dikandung konsep kalo ke Cina, mengingat unsur konsepsual utama budaya
konfusian Cina adalah kesetimbangan dualitas yin-yang dan bukan keselarasan
lingkaran kehidupan dalam kesatuan-persatuan sebagaimana kalo? Apapun wacana
yang dapat dikembangkan, asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya lebih
mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi neo-litikum yang lebih umum:
bangsa-bangsa Sulawesi bermigrasi dari jalur Asia Tenggara ke Kepulauan
Pilipina; sedangkan mereka yang datang dari arah Selatan bisa jadi berasal dari
Pulau Jawa lewat Pulau Buton.
Selain asal-usulnya, hal yang juga sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan
raja-raja dalam legenda rakyat tentang dua kerajaan besar lokal: Konawe dan
Mekongga. Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe) dan raja
Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat Islam telah
diterima (Tarimana 1993).
pelajaran bagi masyarakat bangsa ini— setelah rangkaian perhelatan seminar
digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.
D.Makna “KALO” dalam
budaya suku TOLAKI
Perwujudan
"KALO", simbol kesatuan-persatuan manusia & alam Suku Tolaki
Rumah Komali dengan Titik Pusat Tiang Petumbu Kota Kendari mengelilingi Teluk
Kendari. Apakah posisi geografis ini berhubungan dengan konsep
"KALO"? Sungguh tak mudah untuk memastikan, meskipun kenyataannya
memang geografi Kendari seolah membentuk “KALO”.(Sumber:Rencana Tata Ruang Kota
Kendari 1999/2000, Dinas Tata Kota Kendari).
“KALO” dari rotan dengan anyaman bambu dan kain putih (Sumber:
Tarimana,1993:208) *KALO: lingkaran konsep dasar *Secara harfiah
"Kalo" adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara
mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana
para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi,
perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau.
Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau
mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo
meliputi /osara/ (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam
pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an,
pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).Dari berbagai jenis kalo,
yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman.
Lingkaran
rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah
anyaman adalah symbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah
lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain
putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga
mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u Dewa
Tertinggi), /Sangia I Losoanooleo/ (Dewa di Timur) dan /Sangia Tepuliano Wanua/
(Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol /Sangia I
Puri Wuta/ (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran
rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah
anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah
/kalo/ pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan
mereka./ Kalo/ juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai
unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan
antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola
permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata
kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa /kalo/ melambangkan
keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan
tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki.
Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep /kalo/ tersebut bagi pengembangan
filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui
lanjut dari manakah asal-usul /kalo/. Rumah / anakea/ dari Lambuya dengan
bentuk atap lengkung,
merendah di bagian tengah. / /(Sumber: Sarasin dalam Bungalaw, 1994, dikutip
Tarimana,
1993)/
E.Tiang Petumbu
sebagai pusat Rumah Komali
Rumah
adat Tolaki telah lenyap. Upaya rekonstruksi digalakkan, antara lain lewat
Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fak. Tek. Universitas
Haluoleo, Maret 2004 . Dari studi intensif dan keterangan para nara sumber yang
ada, beberapa hal dapat disimpulkan (Faslih, 2004). Antara lain, bahwa rumah
adat Tolaki dapat berupa komali (rumah istana raja) atau laika (rumah tempat
orang tinggal). Namun antara rumah raja dan rumah rakyat, yang membedakan
adalah besar dan luasnya saja: rumah raja 40 depa rumah rakyat minimal 3 depan.
Rumah
hanya salah satu dari beberapa jenis shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki,
yaitu: tempat berlindung sementara (pineworu), pondok berlantai tanah ditengah
ladang (laikawatu), tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu), dangau
(patande) dan lumbung (o ala). Pola tatanan permukiman pun tak lepas dari
konsep kalo: konsentrik dengan posisi rumah raja/kepala suku berada di bagian
tengah (Tarimana 1993).
Menurut
para nara sumber adat dalam hasil studi arsitektural dan etnografi, yang
menjadi core element dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan
diperkuat balok melintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran
tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang
terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini. Tiang petumbu adalah tiang
yang pertama kali ditanam dan pemasangannya dilakukan pada waktu subuh (sebelum
matahari terbit). Setelah petumbu didirikan, 4 hari atau lebih baru didirikan
tiang-tiang lainnya dengan maksud untuk melihat dalam jangka waktu tertentu
apakah akan terjadi sesuatu pada tiang petumbu. Jika tidak terjadi sesuatu maka
dilakukan pemasangan ke-9 tiang yang lainnya.
Setelah
ke-9 tiang berdiri yang pertama dipasang adalah balok powuatako (A) pada sisi
dalam tiang arah bagian belakang rumah, selanjutnya balok B dan C. Setelah
balok powuatako dipasang selanjutnya pemasangan balok nambea (1) dimulai dari
arah kanan rumah, kemudian menyusul nambea 2 dan nambea 3. Semua Powuatako dan
nambea, baik yang melintang maupun yang memanjang yang menempel pada tiang
dipinggir luar badan bangunan, harus ditempatkan di belakang tiang. Agar
setelah dinding dipasang tiang tak akan kelihatan dari luar, karena terhalang
oleh dinding.
Rumah
Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa),
tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tiang
ditanam sedalam satu hasta, tiang yang akan ditanam ke dalam tanah sebelumnya
dibakar pada bagian selubung (permukaan tiang) hingga menjadi arang,
selanjutnya tiang yang dibakar tadi dibungkus dengan ijuk dan diikat persegmen
dengan menggunakan rotan.
Makna
kedalaman satu hasta tidak ada, hanya terkait dengan kemudahan penggalian dan
pengang-katan tanah ke permukaan. Tiamh dibakar dan dibung-kus bertujuan agar
permukaan selubung tiang menjadi arang agar tiang tidak mudah dimakan rayap dan
agar arang tersebut tetap melekat pada selubung tiang.Tinggi tiang dari
permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk
dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar
tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan
suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun
sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah.
Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang
yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat
(Mokole).
Hubungan
antara balok powuatako, nambe dengan tiang, diikat dengan rotan. Cara mengikat;
pertama rotan pengikat diikatkan pada powuatako atau nambea bukan pada tiang.
Putaran pertama kali silang ke arah kanan sebanyak 4 putaran selanjutnya pada
arah silang kiri sebanyak 3 kali putaran terakhir di tinohe di antara tiang dan
powuatako atau nambea. Setelah pemasangan kesembilan tiang ini barulah bisa
dilakukan pemasangan tiang-tiang tambahan lainnya sesuai dengan luasan dan
kebutuhan yang dikehendaki.
Kesembilan
tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari
siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat
dari siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran
mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya
diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna
memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar
dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.
F.Tarian Lulo
Tarian
Malulo atau Lulo (dari Bahasa Tolaki: Molulo), merupakan salah satu jenis
kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia. Di Kendari
(Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai
salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional
, salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini
adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Pada
zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti :
pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh
alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja,
dan anak-anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong
sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2
macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan
, gong sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat
musik modern yaitu “Electone”.
G.Filosofi tarian
Adapun
filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada
muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat
tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan
tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh
usia maupun golongan, siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya
miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan suku Tolaki atau dari negara
lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti
gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat
bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan
wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika
pria dan wanita dalam kehidupan.Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari
tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah
masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam
menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang diungkapkan
dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga mepokoaso, yang berarti masyarakat
Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu, bekerja sama,
saling tolong–menolong dan bantu-membantu.
Tetapi saat ini
tarian lulo telah mengalami proses adaptasi terutama dalam hal variasi gerakan
dan juga musik yang mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku tolaki
menggunakan alat musik pukul yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah
menggunakan alat musik elektronik yaitu organ tunggal (electone) begitu juga
dengan variasi gerakannya, mulai dari lulo dengan gerakan lambat (santai)
sampai gerakan yang cepat.
BAB III
Kesimpulan
Penyebab
Terjadinya Kemerosotan Penggunaan Bahasa Tolaki dikalangan anak-anak
diantaranya adalah :
1. Anak-anak dikota sudah tidak tahu bahasa tolaki.
2. Bahasa tolaki sudah banyak dicampuri dengan kata-kata bahasa Indonesia.
3. kata-kata halus bahasa tolaki sudah jarang dimengerti.
4. Pemuda yang pernah sekolah dikota pulang ke kampung tetap menggunakan bahasa
Indonesia.
5 ketika bertemu sesama suku tolaki di luar daerah, sudah malu memakai bahasa
tolaki.
tetapi ada satu gejala yang yang akan menjadi penyebab utama kepunahan bahasa
tolaki, yaitu : Orang tua dikampung tidak memakai bahasa tolaki dengan anaknya.
Proses kepunahan ini akan melalui tiga tahap :
Tahap I :
orang tua didesa memakai bahasa tolaki antara suami isteri, tetapi memakai
bahasa Indonesia dengan anak-anak mereka.
Tahap II :
Orang tua memakai bahasa Indonesia antara suami isteri, dan juga berbahasa
Indonesia dengan anak.
Tahap III :
Orang tua hanya memakai bahasa Indonesia di rumah.